NILAI ATURAN SABAT
Homili Rabu 23 Januari 2013
Ibr 7 : 1 - 3. 15 – 17
Mrk 3 : 1 – 6
P. Benediktus Bere Mali, SVD
Ada dua kemungkinan yang ada dalam diri pembuatan
aturan perundang-undangan. Aturan dibuat bisa jadi untuk melindungi manusia secara
universal melintas batas atau bisa jadi aturan yang diciptakan penguasa atau
yang berwewenang untuk menghancurkan manusia yang bersikap kritis terhadap
penguasa. Mereka yang kritis biasanya membongkar keboborokan penguasa dengan
data-data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hari Sabat adalah aturan dalam Hukum
Taurat. Hukum Musa itu intisarinya mencintai Tuhan dan Mencintai Sesama. Tuhan
mengungkapkan cintaNya yang sempurna di dalam diri Yesus yang lahir dari rahim
Maria berkat Roh Kudus. Yesus datang ke dunia untuk tujuan tunggal yaitu menyelamatkan
semua orang. Yesus datang ke dunia membawa manusia kepada kehidupan yang abadi
bukan kematian yang abadi. Maka ketika Yesus berjumpa dengan orang sakit, Ia
langsung tergerak menyembuhkan agar hidupnya lebih lama. Hidup yang lebih lama
dan tidak akan berakhir itu diperoleh di dalam kehidupan abadi di dalam Surga. Hidup
abadi di dalam Surga itu diperoleh melalui jalan Salib Tuhan Yesus yang menjadi
jembatan bagi manusia berjalan menuju Surga.
Tetapi orang orang-orang Farisi yang ahli
dalam kata-bicara-ajar Hukum Musa, melihat hukum Taurat itu untuk mencari-cari
kesalahan orang lain. Mereka sangat kaku pada aturan secara harafiah. Mereka
tidak berpikir nilai hidup manusia yang diperjuangkan oleh Hukum Musa.
Pandangan yang berbeda antara Yesus dengan Orang Farisi atas nilai yang
diperjuangkan Hukum Musa inilah yang melahirkan konflik yang mendalam.
Yesus secara kritis berkata kepada
orang-orang Farisi yang menghalang-halangi Yesus berbuat baik dan benar pada
hari Sabat, yaitu dengan menyembuhkan orang yang sakit mati sebelah tangannya
demikian : “pada hari sabat itu yang
terpenting adalah berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa atau
membunuh orang?” Sabda Yesus ini dapat dijawab oleh orang-orang sederhana
sekalipun dan jawaban pasti itu adalah bahwa pada hari Sabat menyelamatkan
nyawa bukan membunuh orang, melakukan yang baik bukan melakukan yang jahat.
Jawaban itu pasti seratus persen dimengerti oleh orang-orang Farisi yang
berpendidikan tinggi dan menjadi dosen Hukum Musa.
Tetapi yang terjadi sebaliknya. Mereka
berencana menanggapi sikap kritis Yesus atas hukum Musa secara khusus atas hukum
Sabat itu dengan bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Yesus.
Memang aneh, pendapat yang membangun kesadaran baru atas pemahaman tetang Hukum
Musa yang memberi hidup bukan mematikan, menyokong perbuatan baik bukan
kejahatan, malah dibalas orang Farisi dengan persekongkolan dengan orang –
orang Herodian untuk membunuh Yesus.
Kita pun sebagai pribadi atau sebagai kelompok
minoritas seringkali mengalami aneka tekanan dan bahkan ancaman nyawa ketika
kita melakukan yang baik dan benar bagi kepentingan semua manusia lintas batas
entah di dalam komunitas ataupun di dalam kehidupan Gereja dan masyarakat luas.
Pengalaman kesulitan dan bahkan penolakan itu dialami ketika ide kritis yang gemilang
dan tindakan konkrit yang menjawabi kebutuhan umat yang kita layani, tidak
dipahami paradigma sempit dari mereka yang dipercaya untuk menjadi pemimpin
atau penguasa. Pengalaman penolakan atau terancam nyawa itu dialami ketika
sikap kritis kita terhadap atasan atau penguasa dipandang sebagai ancaman
terhadap penguasa, dan penguasa kehilangan sikap positif dan sikap kritis
terhdap ide-ide kritis kita. Kalau demikian, kemajuan akan terus tertunda di
dalam dunia yang semakin progresif dengan aneka kemajuan di dalam multidimensi
ilmu pengetahuan.