“YUDAS
: OTAK PENDEK VS OTAK PANJANG”
Homili
Rabu 27 Maret 2013
Yes
50 : 4 – 9a
Mzm
69 : 8 – 10.21bcd-22.31.33-34
Mat
26 : 14 – 25
P.
BENEDIKTUS BERE MALI, SVD
Kompas
beberapa hari lalu menurunkan sebuah artikel yang sangat menarik perhatian saya
ketika saya membacanya. Alasan artikel
itu menarik bagi saya karena memuat
pesan yang sangat menyentuh diri saya sendiri. Tulisan itu berbicara
tentang “rambut panjang otak panjang versus rambut pendek otak pendek”. Saya
kemudian menambahkan beberapa kemungkinan dari tulisan itu bahwa rambut pendek
otak panjang, rambut panjang otak pendek, rambut pendek dan panjang otak kosong
atau rambut pendek dan panjang otak panjang.
Otak
panjang yang dimaksud di dalam artikel itu adalah orang yang berpikir
berdasarkan multidimensi dalam mengambil sebuah keputusan untuk kebaikan, kebenaran dan keselamatan khalayak
ramai melintas batas. Sedangkan yang dimaksudkan dengan otak pendek adalah
orang yang berpikir berdasarkan hanya satu dimensi saja dalam mengambil sebuah
keputusan untuk kepentingan bersama, yang lebih banyak menyesatkan diri dan sesama
langgar batas.
Injil
hari ini menampilkan tokoh Yudas Iskariot sebagai seorang bendahara, ekonom,
saudagar yang bukan memiliki otak panjang tetapi memiliki otak pendek. Mengapa
Yudas itu adalah seorang saudagar yang memiliki otak pendek? Dia disebut
sebagai pribadi yang memiliki otak pendek karena dia mengambil sebuah keputusan
yang hanya berdasarkan dimensi egoismenya sendiri. Sanhedrin sudah mengambil
keputusan untuk membunuh Yesus karena Sabda dan MujizatNya yang menyelamatkan
banyak orang langgar batas. Yudas sebagai murid Yesus sebagai ekonom pasti tahu
akan rencana fasik Sanhedrin itu. Tetapi dalam kesadarannya yang penuh Yudas
pergi kepada Sanhedrin mengadakan tawar-menawar harga jual Gurunya dengan
sebuah harga yang sangat murah yaitu hanya 30 keping perak. Yesus sebagai
magister, atau prefek, atau Provinsial atau superior jenderalnya Yudas tahu
gerakan Yudas kemana arahnya entah ke arah yang menyelamatkan atau menyesatkan. Pengetahuan akan gerakan fisik dan hati serta
nurani Yudas itu terungkap di dalam Injil hari ini. Tuhan Yesus mengatakan bahwa setelah Doa dan
Ekaristi, salah seorang dari antara 12
orang dalam komunitas para rasul akan menyerahkan dan menjual Yesus.
Mereka saling memandang satu dengan yang lain dan berkata kepada Yesus : “Bukan
aku, ya Tuhan?”. Yudas Iskariot yang kebohongannya sudah diketahui Tuhan Yesus,
berkata kepada Yesus sebagai Gurunya : “Bukan aku, ya Rabi?”. Kata-kata Yudas Iskariot mengungkapkan apa
yang dibalik dadanya. Dia tidak jujur terhadap dirinya sendiri tetapi nuraninya tetap
bergejolak atas ketidak jujuran terhadap diri, sesama dan Tuhan Yesus sendiri.
Penyangkalan terhadap suara hatinya membawa kematiannya yang sangat mengerikan
yaitu mati dengan cara menggantung dirinya sendiri.
Kita
dalam hidup pada zaman ini dalam situasi yang sangat menekankan sebuah
manajemen hidup bersama secara professional.
Ilmu leadership semakin mendukung untuk mengatur hidup bersama secara professional.
Dalam kehidupan bersama entah kehidupan sipil maupun religius, kita menyetujui
sebuah pengambil keputusan yang menyelamatkan semua orang langgar batas. Hal
itu dikehendaki siapa saja lintas batas. Harapan umum langgar batas itu yang
ditawarkan kepada publik yang berasal dari multicultur. Kita menyangkal cara
Yudas Iskariot yang mengambil sebuah keputusan yang berasal dari dirinya
sendiri dan akhirnya menyesatkan dirinya sendiri dan menyesatkan
teman-temannya. Kita sangat mendukung sebuah keputusan yang lahir dari cara
berpikir multidimensional untuk kepentingan dan keselamatan bersama lintas
batas. Cara untuk hal itu dapat ditemukan di dalam beberapa tindakan yang harus
dilakukan sebagai berikut. Kita bukan hidup sendirian di sebuah pulau tanpa
kontak dengan siapapun. Kita hidup dalam kelompok sosial atau komunitas
religius yang kekuatan utamanya adalah Tuhan sendiri. Kita sebelum mengambil
sebuah keputusan semestinya mengambil saat hening dalam doa dan berdialog
dengan Allah Tritunggal Maha Kudus, Bapa, Putera dan Roh Kudus, memohon
petunjuk dan bimbingganNya dalam pengambilan keputusan yang menyelamatkan semua
orang langgar batas dalam dunia multikultur yang sedang dijalani dan menyertai
seluruh perjalanan hidup kita. Kita juga hidup dalam kebersamaan bersama
senior-senior kita yang sudah banyak makan asam garam dalam mengambil keputusan
bagi perjalanan hidup bersama yang pernah mereka alami sebelum masa dan zaman
kita. Mereka adalah pena tua - pena tua yang dapat menuliskan
kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup dalam pikiran dan nurani kita agar keputusan
yang kita ambil adalah keputusan yang berdasarkan kepentingan bersama berdiri
di atas “bonum commune”. Kehidupan
bersama kita mempunyai dewan rumah,
dewan komunitas, dewan provinsi, dewan general, atau dalam dunia sipil, ada
dewan perwakilan rakyat dan sebagainya.
Team dewan itu entah sipil atau religius ada dan diadakan untuk duduk
bersama, godok bersama, pikiran-pikiran
yang akan menghasilkan keputusan bersama, sehingga keputusan yang dihasilkan
keluar atas nama kebersamaan bukan atas nama pribadi, dan kemudian di dalam
pelaksanaannya pun merupakan gerakan bersama bukan gerakan personal atau misi
diri bukan misi diriNya.