Bagaimana Menyelesaikan Perselingkuhan Dalam Adat Suku Bunak?
P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD
P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD
Suku Bunak di Asueman seratus persen beragama Katolik. Setiap hari Minggu umat Katolik merayakan Ibadat Sabda atau Perayaan Ekaristi. Tetapi NS ( Nosa selingkuhan T) dan T (suami sah Y baik secara adat suku Bunak maupun berdasarkan hukum Gereja Katolik) yang beragama Katolik merayakan cinta monyet di atas motor WIN dan berpuncak di Asuulun. Saksinya adalah D (saudara Y) dan L (Saudara sulung Y). Y (isteri sah T) sudah bertahun-tahun mengalami kekerasan yang dihujankan T atas dirinya. Anak-anaknya yang masih kecil melihat kekerasan ayah (T) terhadap mama (Y) tercinta, hanya dengan menggugurkan airmata kesedihan. Puncak kekerasan itu ternyata berakar perselingkuhan T dan NS. Berikut proses permainan cinta monyet yang direkam lewat saksi kunci D dan L atas permainan cinta monyet T dengan NS.
Pada hari Minggu 29 Agustus 2010 terjadi kekerasan dalam sebuah keluarga suku Bunak di Dusun Asueman, Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Pada pagi hari, suami (T) memukul isteri (Y) lalu suami (T) menggunakan motor Winnya keluar Rumah. Anaknya (A ) melihat T memuat seorang NS menuju ibu kota Kabupaten Belu. Anak A tidak tega melihat mamanya dipukul sakit lalu ayahnya T pergi dan memuat nona selingkuhannya menuju ke ibukota. Anaknya A memberikan informasi kepada keluarga Y di kota Atambua dan sekitarnya untuk menanti kedatangan T dan Nona selingkuhannya (NS) di ibukota. Keluarga Y itu adalah D dan L. D dan L menunggu di Pasar Lama Atambua mengenakan helm masker sambil mengamati motor T dan NS dari kampung Asueman. Informasi lewat SMS itu sangat tepat dan selang beberapa jam, Motor WIN yang dikendarai T dan dibelakangnya NS datang memasuki ibu kota Kabupaten. D dan L selalu membuntuti motor Win dari belakang mengikuti arah T dan NS.
Tibalah mereka di Asuulun dan masuk ke dalam kios-kios yang menjual makanan dan minuman ringan di sana lalu T dan NS menikmati makanan ringan itu sambil memainkan cinta monyetnya. D dan L memarkir motornya di tempatnya yang agak jauh dan mulai menelpon keluarga dan saudara saudari Y. Selang beberapa menit, D dan L pun membuka helm maskernya tepat di depan T dan NS yang sedang memainkan cinta monyet di tempat rekreasi Asuulun.
T dan NS kaget dengan kedatangan D dan L yang mengaborsi permainan cinta monyet mereka. Muka merah dan pemberontakan nurani T dan NS mulai bermain. Mau lari tak mampu, tidak mengaku pun tidak bisa. T sudah mempunyai empat anak dan sudah mempunyai dua cucu. Pemberontakan nurani bertubi-tubi menghantuinya dan kini masalah menjadi lebih rumit dan urusan adat akan memakan banyak korban. Korban tenaga, pikiran, materi dan membuang-buang waktu untuk mengurus adat permainan cinta monyet T dan NS.
Urusan adat itu melibatkan tiga pihak besar. Suku Y, suku T, dan Suku NS. T berada pada posisi serba salah. Beban adat ganda harus ditanggung T. Beban adat T terhadap Y sebagai isteri sah secara adat dan Gereja Katolik. Beban adat T terhadap NS sebagai anak gadis yang belisnya harus ditanggung T dan keluarga suku T. Kenikmatan cinta monyet sesaat mendatangkan penderitaan dan korban serta beban adat ganda, berupa korban binatang dan uang yang diperoleh dalam bekerja bertahun-tahun. Ini adalah kebodohan yang tidak perlu. Kenikmatan sesaat mendatangkan kerugian yang berlipat ganda. Nasib anak-anak semakin buram karena biaya hidup dan biaya sekolah anak-anak tersedot dan dialirkan kepada pelunasan beban adat karena permainan cinta monyet T dan NS sesaat.
Demikianlah perayaan cinta monyet di atas motor WIN dan di tempat rekreasi Asuulun sesaat mendatangkan kerugian ganda yang harus melibatkan banyak orang dari suku T, Suku Y, dan suku NS. Pembangunan sumber daya manusia dalam keluarga Y dan T mulai menuju kekerdilan. Tentu semua keluarga tidak mengharapkan peristiwa serupa terjadi di dalam keluarga idamannya. ***