"NABI SUDAH MATI"

AGAMA PROVOKATOR VERSUS TEOLOGI KEKUASAAN

Otto Gusti Madung*


Aksi gereja lokal terutama JPIC dari keuskupan dan beberapa kongregasi religius yang cukup gencar menolak tambang beberapa waktu terakhir ini dinilai oleh Bupati Manggarai Barat (Mabar), Drs. Wilfridus Fidelis Pranda, sebagai sebuah bentuk provokasi dan kegiatan mengadu domba masyarakat. Seperti diberitakan harian Pos Kupang, Bupati Pranda dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Keuskupan Ruteng, SSpS Flores Barat dan Masyarakat Peduli Mabar pada hari Sabtu, 25/4/2009, menuduh gereja lokal di wilayah Keuskupan Ruteng lewat aksi tolak tambang sebagai provokator yang mengganggu stabilitas keamanan masyarakat (Pos Kupang, 27/04/2009).
Seorang rekan yang hadir dalam seminar tersebut sempat mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) kepada penulis. Isinya, Bupati Fidelis Pranda meminta pemerintah dan gereja memperhatikan tugas masing-masing. Gereja harus segera meninggalkan arena politik dan lebih berkonsentrasi pada tugas pokoknya. Tugas pokok gereja, demikian Bupati Pranda, bukan urus tambang, tapi memberikan pelayanan sakramental kepada umat agar jiwa mereka bisa masuk surga.
Bupati Fidelis sesungguhnya tidak konsekwen dalam nalar berpikirnya. Di satu sisi ia menganjurkan agar pemerintah dan gereja memperhatikan tugas masing-masing serta tidak boleh mencampuri urusan pihak lain. Di sisi lain, Bapak Bupati menegasi pernyataannya sendiri dengan masuk ke ranah teologi yang bukan bidangnya ketika menarik garis demarkasi tegas antara teologi dan politik. Ketika Bupati Fidelis coba mendefinisikan tugas gereja dan politik, sesungguhnya ia sedang berteologi. Sebab pandangan yang menghendaki pemisahan tegas antara teologi dan politik adalah salah satu model teologi, meskipun bukan model satu-satunya. Pertanyaan, mengapa Bapak Bupati berteologi kalau Bapak memang menghendaki distingsi tegas antara teologi dan politik?
Penulis berpendapat, Bupati telah mengemukakan dua pandangan sesat serta kerancuan berpikir sehubungan dengan tanggapannya atas kiprah gereja atau agama dalam memperjuangkan nasib rakyat kecil dan tertindas akibat eksploitasi dan eksplorasi bisnis tambang. Ada banyak hal lagi tentunya yang perlu ditanggapi tentang konsep pembangunan dan politik pertambangan Bupati Manggarai Barat ini. Penulis ingin membatasi diri pada dua hal saja. Pertama, pandangan tentang gereja sebagai provokator ketika mengkritisi kebijakan publik pemerintah. Kedua, konsep teologi yang menghendaki garis demarkasi tegas antara agama dan politik serta menghendaki peminggiran agama ke ruang privat. Karena pandangan sesat ini dikemukakan oleh seorang pejabat publik, maka penulis merasa perlu memberikan tanggapan secara publik pula demi terciptanya sebuah ruang publik yang rasional, beradab dan bebas represi.
Gereja sebagai Provokator?
Tuduhan provokasi terhadap gereja di atas mengingatkan saya akan perbincangan antara seorang perampok laut dengan Iskandar Agung seperti didokumentasikan St. Agustinus dalam salah satu karya legendarisnya, De Civitate Dei: “Kerajaan-kerajaan tanpa keadilan apa itu selain gerombolan-gerombol an perampok? Oleh karena itu halus dan benar jawaban yang diberikan oleh seorang perampok laut kepada Iskandar Agung, sewaktu sang raja bertanya bagaimana dia itu sampai berani membuat laut menjadi tidak aman. Maka orang itu dengan bangga dan terbuka mengatakan: ‘Dan bagaimana dengan engkau sampai membuat seluruh bumi menjadi tidak aman? Memang, aku dengan perahu kecilku disebut perampok, tetapi engkau dengan angkatan laut besar disebut panglima yang jaya’.” (Franz Magnis-Suseno, 1999, hlm. 193)
Pernyataan sang perampok laut adalah gugatan atas legitimasi kekuasaan Iskandar Agung. Atas dasar legitimasi apakah Iskandar Agung menganggap perampok laut itu sebagai provokator dan pengacau stabilitas di wilayah kekuasaannya dan pada saat yang sama menobatkan dirinya sebagai pahlawan dan panglima yang jaya kendati keduanya sesungguhnya melakukan kejahatan yang persis sama?
Dialog antara sang perampok laut dan Iskandar Agung juga memicu lahirnya pertanyaan tentang legitimasi kekuasaan negara pada umumnya. Negara pada prinsipnya dipandang sebagai lembaga kekuasaan yang legitim jika dibandingkan dengan kelompok para bandit atau perampok yang mungkin memiliki kedaulatan atas wilaya tertentu, tapi kekuasaannya dipandang sebagai ilegitim. Pertanyaannya ialah, apakah dasar dari tuntutan legitimasi negara tersebut? Apakah yang membedakan negara dari kelompok para bandit? Apakah mungkin sebuah negara merosot menjadi lembaga berkumpulnya para bandit? Apakah dasar legitimasi bahwa manusia boleh menguasai manusia lain?
Rupanya untuk Iskandar Agung jelas, faktum kekuasaannya merupakan sumber legitimasi kekuasan satu-satunya. Karena ia berkuasa, maka segala sesuatu yang diperbuatnya harus dipandang legitim dan boleh memandang sang perampok laut sebagai provokator dan pengacau stabilitas keamanan di wilayah kekuasaannya.
Otoritas penguasalah yang menjadi sumber legitimasi hukum satu-satunya. Auctoritas, non veritas facit legem – Otoritas dan bukan kebenaran yang menciptkan hukum. Dan kini aura positivisme hukum Hobbesian tersebut tampil kembali di wilayah Manggarai Barat ketika sang bupati menegaskan, investasi tambang harus diterima karena telah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada kesejajaran antara konsep kekuasaan Iskandar Agung dan Bupati Manggarai Barat. Keduanya melihat faktum kekuasaan sebagai sumber legitimasi hukum tertinggi. Dan berdasarkan konsep kekuasaan demikian, Bupati Fidelis dapat mencap segala bentuk oposisi dan pemikiran alternatif yang mengkritisi kebijakan regim berkuasa sebagai bentuk provokasi.
Sesungguhnya, produk undang-undang dan peraturan daerah bukanlah aturan tertinggi dalam sebuah tatanan sosial. Bukankah setiap aturan hukum harus merujuk pada prinsip-prinsip yang lebih tinggi seperti asas keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kebaikan bersama? Seandainya investasi tambang melanggar asas-asas ini, ia harus dikritisi kendati telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah. Jika merujuk pada prinsip-prinsip dasar yang lebih tinggi, bukankah para investor tambang dan Pemda yang mengeluarkan isinan adalah provokator sesungguhnya, dan bukan JPIC atau aktivis anti tambang? Sejarah telah banyak berbicara, industri pertambangan hanya mendatangkan keuntungan bagi para korporasi dan tidak pernah untuk masyarakat setempat. Masyarakat lokal harus puas dengan remah-remah keuntungan ekonomis sembari meratapi keadaan tanah dan laut yang sudah hancur permanen.
Bupati memandang setiap bentuk pemikiran alternatif dan kritis terhadap kebijakan resmi pemerintah sebagai subversif. Aksi tolak tambang para aktivis anti tambang dan lembaga gereja dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap dasar negara Pancasila dan UUD 45. Hal ini mengingatkan kita akan stigmatisasi komunis bagi segala bentuk oposisi politik dalam masa pemerintahan fasis dan totalitarian orde baru. Memang Soeharto sudah lama mati, tapi soehartoisme masih kuat dan bertumbuh subur dalam cara berpikir Bupati Manggarai Barat. Sebuah bahaya besar tentunya dan ini harus dikikis bersih demi kelangsungan reformasi dan proses demokratisasi di Manggarai Barat.
Teologi Kekuasaan
Untuk meminimalisir resistensi dan melegitimasi konsep pembangunannya Bupati Fidelis memerintahkan gereja untuk meninggalkan ranah politik. Persoalan tambang adalah masalah politik murni. Agama harus dibebaskan dari persoalan sosial-politik dan memusatkan diri pada keselamatan jiwa umat agar masuk surga. Imam yang sibuk urus tambang tidak layak dipanggil pastor, tapi cukup disapa sebagai saudara. Itu kira-kira substansi konsep teologi politik kekuasaan Bupati Fidelis!
Dengan menggiring gereja keluar dari politik serta menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik, sesungguhnya Bupati Mabar sedang membangun sebuah teologi baru. Apa yang sesungguhnya sedang dilakukannya ialah dekonstruksi teologi politik kritis, dan konstruksi teologi kekuasaan guna melegitimasi segala bentuk penindasan dalam masyarakat. Agama dipandang sebagai obat penenang tidur terlepas dari kekerasan realitas sosial dan pergulatan umat manusia melawan ketidakadilan dan penindasan atas martabatnya. Dengan demikian agama sebagai sebuah instansi moral kritis dilumpuhkan. Gereja sebagai kekuatan emansipatoris dan roh pembebas manusia seutuhnya dimandulkan dan dipaksa bungkam sehingga kehilangan kata-kata profetis. Dan persis inilah agama dan gereja yang dikehendaki oleh setiap kekuasaan korup dan politik tanpa wajah kemanusiaan. Gereja yang ditopang oleh teologi kekuasaan yang memasung kebebasan dan membungkam suara kritis.
Akan tetapi tugas perutusan gereja jauh lebih luas dari sekadar urusan ritus agar jiwa manusia masuk surga. Ruang gerak tugas perutusan seorang imam bukan sebatas altar misa, tapi juga mencakupi seluruh persoalan sosial, budaya dan politik. Misi keselamatan gereja mencakupi manusia seutuhnya, hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dan dunia. Agama, demikian Konsili Vatikan II, adalah “tanda dan pelindung transendensi manusia”. Panggilan ilahi manusia terungkap dalam tugas dan komitmen sosialnya untuk membela dan memperjuangkan kebebasan dan martabatnya yang tak tergugat (Paul Budi Kleden, 2003, hlm. 203). Maka demi kekudusan martabat manusia itu , gereja juga dipanggil untuk bersuara ketika kekuatan korporatokrasi, yakni perselingkuhan antara politik dan bisnis tambang, datang menerjang kehidupan masyarakat lokal. Di sini gereja berperan sebagai penyuara cita-cita dan visi tentang kehidupan ideal manusia dan masyarakat umum. Pemahaman tentang gereja seperti ini adalah duri tajam di mata setiap penguasa otoriter.
Agama bukan obat tidur. Ia bukan opium yang menghantar kita kepada dunia maya penuh ketenangan, tapi kesadaran kritis yang mengajarkan kita tentang hakikat manusia dan dunia sebagai ciptaan Allah. Pemahaman tentang manusia dan dunia yang seharusnya sebagai ciptaan Allah menjernihkan pikiran dan hati untuk menangkap pelbagai bentuk distorsi dan represi sosial seperti kemiskinan, marjinalisasi, pembodohan, ketidakadilan dan penindasan.
Keterlibatan gereja dalam dunia dan masyarakat tidak sebatas bentuk pelayanan pastoral dan sosial-karitatif. Ia harus mampu menukik lebih dalam, mempertanyakan dan membongkar secara radikal sistem-sistem yang menciptkakan ketidakadilan, pendindasan dan penderitaan itu (Paul Budi Kleden, 2003, hlm. 196). Atau keterlibatan gereja, untuk meminjam termini George Junus Aditjondro, bukan sebatas “diakonia palang merah” tapi harus sampai pada “diakonia palang pintu” demi mencegah jatuhnya tumbal-tumbal pembangunan lantaran sistem yang tak adil dan menindas.
Keterlibatan JPIC dan gereja pada umumnya dalam membela hak-hak masyarakat lokal yang dirugikan oleh industri pertambangan dan kebijakan publik pemerintah adalah tugas hakiki perutusan gereja. Gereja yang beriman pada Allah yang inkarnatoris, Allah yang mengambil bagian dalam pergulatan sejarah manusia termasuk lembaran sejarah paling buram seperti terungkap dalam peristiwa salib. Keterlibatan yang sulit dan penuh risiko karena harus berhadapan dengan monster ganas kekuatan korporatokrasi. Dijuluki gereja provakator dalam situasi kritis memerangi sistem yang menindas bukan kutukan, tapi berkat. Sebab kita mengikuti Allah yang tersalib!


*Penulis adalah rohaniwan dan pengajar pada STFK LEDALERO