HAMBA ALLAH
Tit 2:1-8.11-14; Luk 17:7-10
Misa Harian, Selasa 13 Nopember 2012,
Di Soverdi Surabaya
(P. Benediktus Bere Mali, SVD)
Kita hidup di antara aneka pandangan hidup yang menyertai
keberadaan kita. Beraneka warna paradigma itu, salah satunya adalah Hamba-isme di dalam relasi sosial.
Mendengar pandangan hamba-isme pasti muncul banyak reaksi,
ada yang menerima ada yang menyangkalnya dalam relasi sosial baik dalam
lingkungan makro maupun mikro.
Menolak karena bukan jamannya lagi orang menjadi hamba dalam
relasi sosial. Orang jaman ini menekankan kesetaraan dalam keberbedaan, bukan
supordinasi satu terhadap yang lain.
Menerima karena dalam relasi spiritual, hal ini sangat
penting. Relasi rohani antara manusia dengan Allah dibangun di atas pola hamba
dengan majikan. Manusia sebagai hamba sedangkan Majikan adalah Allah.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa relasi antara manusia
dengan Allah didirikan di atas dasar paradigma seorang hamba dengan raja?
Alasan yang mewarnai pandangan relasi hamba dengan raja sebagai dasar relasi
dengan manusia adalah konteks zamannya. Pada zaman Yesus dalam sejarah
hidupnya, pandangan hambaisme bertumbuh subur dalam relasi sosial. Raja
memperlakukan rakyatnya sebagai hamba.
Pandangan ini digunakan Yesus dalam pewartaanNya. Meskipun
demikian, yang membedakan pandangan Hamba-isme dalam pandangan sosial pada saat
itu dengan pandangan spiritual yang dihadirkan di dalam pewartaan Tuhan Yesus
adalah sebagai berikut.
Pandangan dunia, hamba melakukan apa saja, entah itu baik
atau tidak baik, entah benar atau tidak benar, harus dilakukan oleh rakyat
untuk kesenangan raja atau penguasa, untuk egoisme raja atau pemimpin.
Sedangkan dalam pandangan rohani, hamba-isme yang dimaksud
adalah umat manusia melakukan yang sehat, entah itu sehat pikiran, sehat
kata-kata dan sehat perilaku dalam takaran kehendak Allah yang menyelamatkan
secara universal melintas batas-batas ciptaan manusia.
Dengan kata lain, Yesus menyetir pandangan dunia itu ke arah
yang spiritual, agar rakyat dalam konteks sipil dan umat dalam konteks keagamaan,
menjadi hamba dalam berelasi dengan atasan yaitu pemimpin dunia dan pemimpin
sipiritual, melakukan semua yang sehat: baik dan benar, untuk kebaikan,
kebenaran, kesejahteraan, keselamatan bersama.
Kita hidup sebagai hamba Allah. Artinya dalam komunitas manapun
habitat kita, kita bukan melaksanakan kehendak pribadi yang lebih bernuansa
egoistik, tetapi kita utamakan kehendak Allah yang membawa keselamatan yang
abadi.
Misalnya kita hadirkan habitualisasi keselamatan yang
bersumber dari Allah di dalam kehidupan berkeluarga. Kalau dulu anggota
keluarga jarang berkomunikasi secara langsung, dengan berbagai alasan, kini
berusaha dan mau berkorban untuk berkomunikasi secara langsung antara orang tua
dengan anak-anak, agar anak-anak mengalami cinta kasih orang tua secara
langsung, bukan melalui, ATM saja, telephone saja, sms saja. Kalau dulu
pikiran, kata, dan perilaku tidak atau kurang sehat, kini adalah saatnya untuk
memiliki dan membagikan iman yang sehat kepada sesama. Iman yang sehat itu
melahirkan pikiran, kata-kata dan perilaku yang sehati dengan kehendak Allah
yang menyelamatkan secara umum tanpa membeda-bedakan.