RITUS
ADAT “SI GIWITAR PAK”:
CERITERA
TENTANG KEHIDUPAN SUKU BUNAQ DI BUMI DAN DI SURGA
*P.
Benediktus Bere Mali, SVD*
Ritus
Adat "Si Por Pak atau Si Giwitar Pak" ini bercerita tentang kehidupan
suku Bunaq di Asueman, Desa Aitoun, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Propinsi
Nusa Tenggara Timur, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perekam ritus adat
"Si Giwitar Pak” ini adalah P. Benediktus Bere Mali, SVD. Rekaman ini
spontan saat pertama kali P. Benediktus Bere Mali, SVD menghadiri Ritus Adat
"Si Giwitar Pak" ini pada hari Senin 3 September 2012 di Rumah Maria Bete
Asa di Fatubenao - Atambua.
Ritus
adat ini selalu dilakukan oleh Suku Bunaq di Asueman, ketika salah seorang
penduduk Asueman meninggal dunia.
Secara publik adat ini disebut sebagai satu
bagian utama dari Adat Kenduri Suku
Bunaq di Asueman. Peristiwanya adalah kematian fisik tetapi maknanya adalah
kehidupan manusia di dunia dan kehidupan selamanya di dunia seberang setelah
kematian fisik.
Saya sebagai Putera kelahiran dari rahim Adat Istiadat Suku Bunaq lebih setuju adat ritus ini berceritera tentang kehidupan suku
Bunaq di dunia ini dan setelah di dunia ini. Hidup setelah di dunia ini disebut
"Por Tama" yang artinya masuk ke dalam kehidupan selamanya para
leluhur. "Por Tama" ini disebut "Rumah Adat di Surga."
Hidup di dunia disatukan dalam Rumah Adat Suku yang kelihatan secara
fisik. Hidup sesudah hidup di dunia ini dalam persekutuan kehidupan para
leluhur di Rumah Adat Abadi di Surga.
Ritus
adat "Si Giwitar Pak" seperti yang terlihat di dalam video rekaman
sederhana dan spontan dari perekam ini memuat dua ceritera yaitu ceritera hidup
di dunia dan ceritera hidup setelah hidup di dunia ini. Ceritera hidup di dunia mulai dari lahir sampai
kematian fisik. Ceritera hidup setelah kematian fisik adalah hidup di dalam
persekutuan dengan para leluhur yang selalu bersukacita di dalam Surga. Maka tepat kata kata ini: "kematian fisik adalah bab terakhir dalam kehidupan di bumi tetapi bab pertama di dalam kehidupan abadi."
Ceritera
tentang hidup di dunia diawali kelahiran sampai kematian fisik, disimbolkan di
dalam materi-materi yang digunakan di dalam ritus adat "Si Por Pak"
ini.
Simbol-simbol itu sebagai berpikir. Manusia lahir, ari-arinya dibersihkan dan kemudian disimpan di tempat yang
aman damai, segar, dan luas pemandangan. Tempat penyimpanan itu adalah periuk
tanah tempat mengisi ari-ari bayi dan ditempatkan di atas pohon beringin yang
daunnya selalu hijauh dan rindang memberikan kesegaran yang baik bagi manusia
yang baru lahir. Beringin juga mempunyai akar yang panjang-panjang menunjukkan
usia yang panjang dari bayi yang ari-arinya disimpan di atas pohon Beringin.
Pohon beringin tempat penyimpanan itu letaknya di atas bukit yang paling tinggi
yaitu bukit Asueman, tempat yang memiliki pemandangan yang indah dan luas,
tidak terkungkung oleh orang hidup seperti katak di dalam tempurung. Penyimpanan
ari-ari itu disertai beberapa besi, simbol senjata dalam melindungi diri dari
serangan musuh atau lawan. Ari-ari yang disimpan di dalam periuk tanah itu di
simpan atau digantung pada cabang Bambu yang disimpan di atas pohon beringan
dan diikat dengan akar pohon beringin. Akar pohon beringin itu panjang sebagai
simbol usia yang panjang. Bambu yang digunakan mau menyatakan bahwa ilmu bambu
semakin tinggi atau semakin tua usianya semakin merunduk ke tanah sebagai
simbol kerendahan hati. Bambu juga adalah alat timba air sebagai simbol manusia
menerima rahmat dari para leluhur dan rahmat itu diteruskan kepada setiap orang
yang hidup bersama di sekitar. Bambu juga berakar kuat menjaga agar tanah tidak
longsor di musim hujan. Bambu juga digunakan sebagai tangga bagi orang yang
mengambil madu di pohon yang tinggi.
Bayi itu juga semestinya kelak menjadi tangga bagi orang lain untuk
memperoleh sesuatu yang baik dan berguna.
Ritus
adat ini tampakan bahan-bahan atau materi-materinya: ada daging, tali yang
berasal dari akar beringin, ada besi-besi, ada uang, dan ada kapur. Tumpukan
daging itu sesuai asal-asul suku. Seorang anggota suku yang meninggal, asal-asulnya
tampak jelas dalam tumpukan daging-daging itu. Kalau tumpukan daging sepuluh
berarti asal asul anggota suku yang meninggal itu berasal dari sepuluh suku yang
lain dalam sejarah kehidupannya. Daging itu ditumpuk secara merata dan seimbang
bagi setiap wakil dari suku-suku yang
menjadi asal-asul dari seorang anggota suku yang telah meninggal dunia.
Daging
itu mempunyai dua arti. Pertama daging adalah korban penebus kesalahan orang
yang telah meninggal. Kedua daging adalah korban penebus dosa mereka yang masih
hidup di dunia. Jadi Daging dan darahnya membangun rekonsiliasi anggota Suku yang hidup dan meninggal agar semua hidup dalam damai di bumi dalam Rumah Adat Suku di Bumi dan dalam Rumah Adat di dalam Surga.
Daging itu kemudian dibagikan kepada masing-masing suku yang
menjadi asal usul kelahiran salah seorang anggota suku yang telah meninggal
dunia.
Pesan
tua adat dalam doanya sebelum mengakhiri doanya dalam ritus adat ini adalah
kesetaraan, kedamaian, keadilan, persatuan, kerukunan dan persaudaran antara
"MALU" dengan "AIBA'A". Malu adalah orang tua yang
melahirkan AIBA'A sebagai anak dalam
perspektif Suku Bunaq di Asueman. Ritus adat "Si Giwitar Pak" ini sesungguhnya
ritus adat yang mengikat erat dan kokoh hubungan darah dalam sejarah kelahiran
seorang anggota suku Bunaq yang barusan meninggal dunia.
Ini bagan contoh relasi abadi "malu-ai"dari satu rumah adat suku Monewalu sebagai "aiba'a" dengan "malu". Di Aitoun ada 34 rumah Adat suku. Itu berarti ada 34 macam relasi "malu-ai" karena setiap rumah suku mempunyai telasi ini. Bagan di bawah ini adalah relasi pada level "malu ai" dari penulis sendiri. "malu-Ai" singkatan dari "Malu-Aiba'a". Penulis kebetulan memiliki leluhur dari rumah Adat suku Laimea yang mengutus anggotanya mendirikan rumah Adat suku Monewalu. Maka anggota rumah Adat suku Laimea adalah "malu bul" bagi penulis yang adalah anggota rumah suku Monewalu Aitoun saat ini. Perlu diketahui bahwa setiap anggota rumah suku Monewalu memiliki bagannya sendiri di level relasi "malu-ai". Misalnya, jika seorang anggota rumah suku Monewalu berasal dari rumah suku Hoki'ik maka yang menjadi "malu bul" adalah anggota rumah Adat suku Hoki'ik.
Ini bagan contoh relasi abadi "malu-ai"dari satu rumah adat suku Monewalu sebagai "aiba'a" dengan "malu". Di Aitoun ada 34 rumah Adat suku. Itu berarti ada 34 macam relasi "malu-ai" karena setiap rumah suku mempunyai telasi ini. Bagan di bawah ini adalah relasi pada level "malu ai" dari penulis sendiri. "malu-Ai" singkatan dari "Malu-Aiba'a". Penulis kebetulan memiliki leluhur dari rumah Adat suku Laimea yang mengutus anggotanya mendirikan rumah Adat suku Monewalu. Maka anggota rumah Adat suku Laimea adalah "malu bul" bagi penulis yang adalah anggota rumah suku Monewalu Aitoun saat ini. Perlu diketahui bahwa setiap anggota rumah suku Monewalu memiliki bagannya sendiri di level relasi "malu-ai". Misalnya, jika seorang anggota rumah suku Monewalu berasal dari rumah suku Hoki'ik maka yang menjadi "malu bul" adalah anggota rumah Adat suku Hoki'ik.
Ritus
adat ini mengantar anggota yang meninggal menuju kehidupan abadi dengan
kehidupan para leluhur yang telah mendahuluinya, dalam kerukunan abadi,
persekutuan abadi, kedamaian abadi, kebahagiaan abadi.
Ritus adat ini juga
membangun kembali kerukunan dan persaudaraan serta kedamaian antara hubungan
MALU dengan AIBAA'A atau dalam bahasa Tetum "Feto Sawa Uma Mane". Sistem relasi budaya MALU dengan AIBA'A ini merupakan sebuah ekspresi kecerdasan Suku Bunaq Aitoun. Untuk lebih memahami tentang kecerdasan suku Bunaq Aitoun kunjungilah situs berikut ini.
https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/menilik-kecerdasan-majemuk-suku-bunaq.html?m=1
https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/menilik-kecerdasan-majemuk-suku-bunaq.html?m=1
Makan
daging Adat "Si Por Pak" ini adalah makan daging persatuan, kemanusiaan,
persaudaraan, kerukunan, kedamaian, kesetaraan, keadilan antara sesama manusia.
Dengan demikian hidup manusia suku Bunaq di Asueman mengamdung nilai nilai universal
tersebut baik dalam berpikir, berkata-kata dan bertindak. ***