Homili Selasa 16 April 2013

http://soverdia.blogspot.com/2013/04/pribadi-vokal-dalam-kelompok-mayoritas.html




Homili Selasa 16 April 2013
Kis 7 : 51 – 8 : 1a
Mzm 31 : 3cd-4.6ab.7b.8a.17.21ab
Yoh 6 : 30 – 35

“PRIBADI VOKAL DALAM  INSTITUSI  SANHEDRIN”


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Seorang yang ada dan hidup di antara kelompok mayoritas memiliki strategi hidup adaptif yang cerdas agar menerima pengakuan di dalam hidup dan keberadaannya sebagai yang minoritas atau sebatang kara dari latarbelakangnya yang hampir seratus persen berbeda dengan kelompok mayoritas homogen yang mengitarinya. Pribadi yang adaptif cerdas ini bisa membangun hidup dalam kekokohan culturnya yang dibawanya sejak dalam rahim ibunya dan bisa jadi hidup bertopeng “dasamuka” sesuai konteks dimana dia ada agar kehidupannya selalu tidak menjadi ancaman bagi kelompok mayoritas yang ditinggallinya. Keberadaannya seperti ini boleh jadi membuat dia semakin matang hidup dalam lintas kultur tetapi bisa jadi hidup adaptif seperti ini membawa dia menjadi pribadi yang “ikut arus” mencari aman yang memandulkan peran kekritisannya dalam membentuk kepribadian yang matang secara intelektual dan spiritual. Kehidupannya bisa jadi menjadi seperti bunglon di tempat hijau berubah warna tubuhnya hijau, di daerah coklat, tubuhnya berwarna coklat. Di daerah hitam menampilkan diri berwarna hitam. Di daerah abu-abu menampilkan tubuhnya yang berwarna abu-abu. Lantas semestinya seorang pribadi memiliki prinsip seperti apa ketika hidup di antara kelompok mayoritas yang mendominasinya dalam segala lini bidang kehidupan?
Bacaan Pertama hari ini menampilkan Prinsip Hidup Pribadi yang dewasa dalam dunia kenabian ketika hidup di dalam mayoritas kelompok tertentu yang berperan dalam segala lini bidang kehidupan bersama, termasuk dalam bidang ekonomi, kekuasaan, spirtualitas, yang disistematisasi di dalam Institusi yang kokoh yang melegitimasi semua bidang kehidupan bersama.  Stefanus hidup dalam lingkup Institusi Keagamaan Bangsa Yahudi. Sanhedrin yang berpengaruh di dalam kehidupan bangsa Yahudi telah melakukan banyak kebaikan yaitu meneruskan tradisi leluhur yang tertulis di daam Kitab Musa yang menjadi pedoman kehidupan mereka. Tetapi Tradisi itu telah dimanfaatkan untuk menempatkan kelompok Sanhedrin menjadi tuhan di dalam hidup bersama. Tuhan yang sesungguhnya datang ke dunia, yang menjadi nyata di dalam diri Tuhan Yesus telah mereka bunuh agar mereka tetak eksis sebagai tuhan. Kalau Tuhan Yesus diberi kesempatan maka tuhan mereka mengalami kematian. Lebih baik Tuhan Yesus dibunuh daripada tuhannya mati karena kalah saing dengan Tuhan yang sejati menjadi nyata dalam diri Yesus.
Stefanus mengalami peristiwa pembunuhan Tuhan oleh Sanhedrin. Pewartaan secara langsung kepada Sanhedrin bahwa Tuhan Yesus telah bangkit setelah Sanhedrin menangkap, menyiksa, menganiayah, menyalibkan, mematikan atau membunuh, kemudian dimakamkan dan pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati, menampakan diri kepada para Rasul dan memberikan kuasa kepada Para Rasul mewartakan kebangkitanNya dan melakukan mujizat dalam nama Tuhan Yesus yang telah bangkit. Kesaksian Stefanus sebagai keomunitas mikro itu memerahkan telingah sekaligus membangkitkan amarah tidak berakal budi dan berhati nurani yang bening, dalam mengkritisi sikap kenabian Stefanus. Kelompok mayoritas Sanhedrin membela diri dengan berprinsip membenarkan diri yang sebetulnya berada pada pihak yang salah, dan mempersalahkan Stefanus yang mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Puncak kemarahan Sanhedrin itu tiba pada pembunuhan Stefanus seorang diri yang minoritas dalam kebesaran mayoritas institusi Keagamaan Yahudi yang melegitimasi yang salah adalah benar dan yang benar adalah salah.
Peran kenabian Stefanus itu bangkit di dalam dirinya yang berani secara langsung menelanjangi kebohongan sistematis Sanhedrin di depan publik itu lahir dari kekuatan yang datang dari Roh Kebangkitan Tuhan Yesus yang menyertainya. Stefanus makan makanan Rohani yang berasal dari Tuhan Yesus yang memberikan kehidupan yang kekal kepadanya. Saat dia mengakhiri hidupnya karena dibunuh oleh Sanhedrin, Stefanus melihat ke atas dan melihat Yesus lalu melihat mereka yang menganiayahnya dan mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan atas dirinya. Kekuatan makanan Rohani dari Yesus adalah kuasa yang luar biasa membawa “tanpa kekerasan”  bagi semua orang termasuk kepada para musuh yang sadis dan bengis.
Makanan Rohani itu ada dalam diri Yesus sebagai Roti Hidup dan Air Hidup. Setiap orang makan Roti Hidup pasti memperoleh hidup yang kekal. Setiap orang yang minum Air Hidup akan mengalami kepuasan kekal. Air Hidup dan Roti Hidup itu ada dalam Ekaristi Kudus.  Mujizat Roti dan Anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus itu terjadi di dalam tangan Imam Yang Tertahbis yang merayakan Perayaan Ekaristi Kudus. Seperti seorang ibu di dapur yang setiap hari menyediakan makanan fisik bagi anak-anaknya dan seluruh anggota keluarganya, demikian juga seorang imam tertahbis setiap hari di dapur Ekaristi Kudus menyediakan makanan rohani bagi umat manusia yang dilayaninya.  Imam hadir menyediakan makanan rohani bagi semua orang agar memperoleh hidup kekal dalam diri Tuhan Yesus. Iman akan Yesus sebagai makanan Rohani bagi semua orang untuk memperoleh hidup yang kekal itu adalah benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Perayaan Ekaristi lahir dari Imam yang benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Bukan Imam yang dikuasai oleh kebohongan publik dan kejahatan publik yang merayakan Ekaristi, yang mendatangkan malapetaka abadi bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya yang dilayaninya.