Mengapa Sulit Kotbah Tentang Kematian?

Pada hari ini, kamis 24 Januari 2008, misa pemberangkatan Jenazah Bapak. Michael Budi Adiwinata di RKZ Surabaya. Pemimpin misa adalah Pater Agus Sumarwan, SVD. Dalam introduksi dikatakan bahwa Ekaristi pusat iman Kita. Perayaan Ekaristi menghadirkan kembali, menghidupkan kembali Iman akan Kristus Yang Mati Untuk Kebangkitan dan kehidupan yang kekal. Perayaan Ekaristi adalah satu Perayaan Iman Yang Kudus. Maka kita sebagai umat Allah, pertama-tama menguduskan diri terlebih dahulu agar kita dengan hati yang bersih merayakan Perayaan Ekaristi ini. Kita mengakui dosa-dosa kita di hadapan Tuhan dengan rendah hati.

Kotbah bersumber pada kedua bacaan. Bacaan pertama dari I Kor 5 : 1-12 tentang kemah sementara dan kemah abadi dan Bacaan Injil dari Yoh 14 : 1-7 tentang Yesus Kristus Sang Sulung Kebangkitan dan Kehidupan Kekal.


Kematian adalah sebuah misteri. Setiap kita, entah sebagai yang tua atau muda, sakit atau sehat, cepat atau lambat, suatu ketika kita harus mengalami misteri kematian ini. Kita tidak dapat menghindar atau mengelak misteri kematian ini. Kita pasti akan mengalami kematian sebagai satu misteri iman. Kematian sebagai satu bagian dari hidup kita karena iman kita akan Yesus yang telah mati untuk kebangkitan dan kehidupan kekal. Yesus sebagai yang sulung, bangkit dari kubur. Setelah dia bangkit, Dia mendahului kita manusia ke Rumah Bapa. Di Rumah Bapa atau Surga Dia menyediakan tempat bagi kita.


Iman kepada Allah yang hidup inilah membuat kita yakin bahwa kematian bukan akhir segalanya. Kematian adalah sebuah hidup yang diubah. Maka dalam permenungan saya pribadi saya menyampaikan sebuah perumpamaan. Dua orang bayi yang kembar hidup dalam rahim ibu hanya mengenal dunia rahim ibunya. Dalam kebersamaan mereka dalam dunia rahim ibu, mereka berdua saling membagi suka duka hidupnya dalam dunia rahim ibu. Ketika satu bayi telah lahir mendahului yang satu, maka bayi yang satu akan merasa kesepian, kehilangan dan bergulat dengan dunia rahim ibu. Sedangkan bayi yang telah lahir telah mengalami kehidupan baru di luar rahim ibunya. Dunia kehidupan rahim ibu dan dunia kehidupan di luar rahim ibu, merupakan dua tempat kehidupan yang berbeda, tetapi keduanya mengalami yang sama yang namanya kehidupan. Kematian bisa dimengerti sebagai satu perubahan kehidupan dalam lingkungan kehidupan di atas dunia manusiawi nyata ini kepada kehidupan yang baru dan abadi serta mengalami kepenuhan dalam kemah abadi di rumah Bapa. Kehidupan tetap ada di dunia ini dan di dalam kemah abadi di Rumah Bapa yang telah disediakan oleh Tuhan Yesus yang mati bangkit dan pergi ke Rumah Bapa mendahului kita menyiapkan tempat untuk kita.


Iman kepada Allah yang hidup ini menghasilkan tiga buah kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Kematian bukan akhir dari segalanya. Kalau melihat kematian sebagai akhir dari segalanya maka manusia akan mengalami kedukaan yang berkepanjangan dan penderitaan yang tiada akhir. Kematian adalah sebuah hidup yang diubah. Kematian adalah satu kehidupan yang baru. Kehidupan semacam apa yang dirasakan setelah secara fisik seseorang meninggal. Kita masing-masing mempunyai pengalaman indah dengan sesama yang telah meninggal. Pengalaman pribadi sengan Om Saya yang telah meninggal adalah bahwa selama hidupnya Om saya ini sangat aktif dalam Gereja, berkorban melayani umat di Gereja dan terutama mempunyai Hati yang peduli kepada para imam. Dia selalu berdoa agar para imam tetap setia. Dia memberi sumbangan kepada pendidikan calon imam. Teladan indah dari Om yang demikian dibiarkan terus hidup dalam pikiran saya, dalam renunngan dan tugas pelayanan saya. Teladan baik itu saya turuti dan hidupi dalam kehidupan bergereja dan tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada saya. Nilai pengorbanan, peduli dan rela membagi yang dimiliki oleh OM yang telah tiada itulah yang saya hidupi dalam kehidupan saya kapan dan dimana saja saya berada. Di situ dan dengan cara itu saya mengalami kehidupan Om yang telah tiada secara fisik.

Kedua, Relasi yang hidup dengan sesama yang telah meninggal tetap dijalin. Relasi semacam apa yang mengungkapkan bahwa adanya pengalaman kehidupan setelah seseorang telah meninggal, mati secara fisik? Relasi yang dimaksud adalah bukan relasi fisik. Relasi yang dimaksud adalah relasi rohani yang mengatasi relasi fisik. Relasi rohani yang selalu menghadirkan sesama yang telah meninggal, telah jauh dapat dialami dalam sebuah komunikasi dengan Allah, dalam sebuah relasi doa sebagai ungkapan relasi kasih yang sangat mendalam. Maka kepergian fisik saudara kita ini tidak menjauhkan dia dari diri kita. Kita merasa dia dekat dan hadir di sekitar dan dalam hati yang penuh cinta dalam doa-doa kita. Cinta sejati adalah cinta Rohani yang selalu menghadirkan dan merasakan yang tidak kelihatan secara fisik, tetapi secara rohani selalu ada dan dialami dalam hati. Secara fisik dia jauh tetapi secara rohani dia dekat di hati dalam doa kita. Ini adalah inti keutamaan iman kita yaitu Cinta Kasih yang sejati yang dapat dialami dalam satu relasi rohani mendalam yang tercetus dalam doa yang lahir dari hati yang tulus.

Ketiga, Kematian adalah hidup yang diubah, dari yang kurang penuh-sempurna menuju kehidupan yang penuh-utuh-sempurna. Kehidupan yang sempurna ada dalam Tuhan. KehidupanNya adalah kekal. Kematian sebagai jembatan bagi manusia untuk memasuki kehidupan yang kekal. Lewat kematian, hidup kita yang terbatas secara historis ini, diangkat kepada satu derajat yang sempurna yaitu mengalami kehidupan yang kekal dalam Rumah Bapa yang telah disediakan oleh Yesus setelah kematian dan kebangkitanNya. Ini adalah harapan akan masa depan sebagai yang paling sempurna.




Tulisan ini adalah olahan penulis atas kotbah Rm. Agustinus Agus Sumarwan, SVD yang memimpin Perayaan Ekaristi Penutupan Peti Bapak Michael Budi Adiwinata di RKZ St. Vinsensius A Paulo Surabaya