“Ia tidak sadar lagi”
Mrk.3:21-21
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Setiap teks kitab suci liturgis yang disusun gereja berdasarkan kalender liturgi selalu mengandung teka-teki tersendiri. Teka-teki teks itu dalam berbagai bentuk. Dari teks Injil hari ini teka-teki yang hendak dicari itu saya mencoba mencari dan menemukan jawabannya dimulai dengan atau dibuka dengan satu pertanyaan serius setidak-tidaknya bagi saya dan diharapkan bagi kita semua yang bergulat dengan teks ini. Saya menemukan rumusan pertanyaannya seperti ini: Mengapa orang lain begitu gampang menyebut seseorang tidak sadar lagi atau sinting atau gila atau abnormal atau disorder, sedangkan orang yang bersangkutan merasa normal, sadar, tidak gila? Atau dengan format lain dapat disusun pertanyaan ini sebagai berikut: Mengapa orang begitu cepat memberi cap kepada seseorang sebagai orang tidak sadar lagi tanpa meminta kepadanya untuk klarifikasi bahwa dirinya memang gila atau tidak sadar?
Kita sering gampang menilai orang lain sebagai orang yang tidar sadar lagi dengan alasannya masing-masing. Untuk menilai orang lain berdasarkan data yang akurat menurut penilai maupun orang yang dinilai agar tidak bias tetapi obyektif. Penilaian seseorang berdasarkan data penilai dan yang dinilai untuk itu minimal melalui dua tahap sebagi berikut.
Pertama. Seorang dokter mengatakan seseorang tidak sadar lagi dari segi medis, ketika organ yang berkaitan dengan urusan kesadaran sudah tidak dapat berfungsi secara baik. Dokter yang menentukan orang tidak sadar lagi berdasarkan asessemnt ilmiah dapat terukur secara ilmiah seperti yang terbaca pada alat ukur fungsi organ tubuh tentang kesadaran.
Kedua. Seorang konselor akan membantu konseli yang berniat baik dengan akar sebab persoalan yang memelihara persoalannya. Misalnya kasusnya yang disampaikan kepada konselor di ruang konseli adalah tidak sadar atau abnormal. Konselor mendengar semua persoalan konseli yang disampaikan di awal pertemuan. Konselor mendampingi konseli menklarifikasikan soalnya secara terukur, teramati, dengan segala durasi dan frekuensinya pada awal pertemuan.
Kemudian atas persetujuan konseli, berdasarkan daftar soalnya yang disampaikan pada awal pertemuan di ruang konseling itu, konselor melakukan assessment atas soal konseli. Ada tiga pokok asessement untuk mendapat data yang penting dan holistik tentang penyebab utama yang memelihara persoalan konseli. Tiga tahap asesment itu dilakukan atas persetujuan konseli. Konselor professional tidak pernah secara gampang melakukan assessment tanpa persutujuan konseli. Mengapa perlu ada assessment? Pertanyaan harus dijawab dan dalam jawaban itu konselor memberikan penjelasan kepada konseli sebagai edukasi konseli untuk mengerti betapa pentingnya assessment dalam proses konseling. Konselor menyampaikan kepada konseli bahwa konseli datang ke konselor di ruang konseling, konseli tidak tahu akar soalnya sehingga meminta bimbingan dan pendampingan konselor. Sementara Konselor pun tidak tahu akar persoalan konseli. Penyampaian ini kiranya konseli dapat mengerti secara baik. Agar konseli dan konselor dapat mengetahui akar persoalan yang memeliahara bertumbuh dan berkembangnya soal konseli. Karena itulah sangat dibutuhkan asessement untuk mendapat data yang tepat tentang persoalan konseli. Asessment itu terdiri dari observasi konselor pada tindakan, kata, dan semua material yang digunakan konseli sejak awal telephone untuk datang ke kantor konseling dan sampai akhir seluruh proses konseling. Intisari observasi adalah untuk memperoleh data tentang konsistensi konseli antara kata-katanya dengan tindakannya sejak awal konseling sampai tahap terminasi konseling.
Selain observasi, konselor mewawancarai konseli dari awal sampai terminasi proses konseling. Wawancara fokus pada sebab utama yang memelihara bertumbuh dan berkembangnya persoalan konseli. Setiap sesi konseling professional selama 50 menit. Selain data yang diperoleh dari observasi dan wawancara, konselor dapat memberikan tes psikologi kepada konseli atas persetujuan konseli. Untuk konseli setuju, konselor mengedukasi konseli tentang alat tes psikologi yang paling tepat sesuai soal psokologis konseli. Pada dasarnya tes psikologi untuk mendapat data yang tepat atas soal yang sedang dialami konseli. Pengertian dan persetujuan konseli, memandu konseli menerima tes dan menjawab soal tes psikologi secara jujur dan obyektif agar mendapat data yang tepat atas soal yang sedang dialami. Hasil tes psikologi dapat diinterpretasi oleh psikometrik karena itu bidang profesinya. Konselor perlu kerja sama dengan psikometrik berkaitan dengan tes psikologi. Hasil interpretasi dan hasil observasi dan wawancara dirangkum berdasarkan fokus akar persoalan konseli. Hasil rangkuman tiga jenis assessment itu disampaikan kepada konseli secara baik menggunakan Bahasa yang menyembuhkan agar konseli dapat mengklarifikasikannya sehingga hasil data itu merupakan data yang dimengerti dan diterima konseli. Setelah konseli setuju dan menerimanya maka konseling menuju ke tahap atau sesi berikut.
Tahap berikut yang dimaksud adalah berdasarkan data yang terkumpul, dan berdasarkan literature terkini yang berkaitan langsung dengan soal konseli, maka konselor dapat menentukan sakit A atau Sakit B Atau Sakit C, dengan minimal 4 gejala sakit A atau sakit psikologis B, Sakit Psikologis C. Untuk menentukan sakit psikologis, konselor membuka DSM-5 (file pdf di Google), dan literature terkini tentang sakit psikologis konseli. Hasil sementara gejala sakit psikologi A atau B atau C itu, konselor semestinya minta klarifikasi konseli. Setelah konseli klarifikasi dan konseli setuju, maka konselor dapat memandu konseli ke tahap konseling berikut.
Setelah konseli setuju bahwa sakit A atau Sakit B, kini sesinya konselor merumuskan persoalannya secara tepat. Rumusan soal itu terdiri dari missal Sakit A dengan penyebab utama yang memeliharanya berdasarkan data assesement dan literature terkini. Rumusan yang tepat dapat memudahkan untuk treatmen pada tahab konseling berikutnya. Rumusan soal itu konseli komukasikannya dengan konseli yang sedang mengalami soal itu, untuk mendapat klarifikasi dari klien. Klain setuju rumusan itu maka, proses konseling akan maju ke sesi berikut.
Sesion berikutnya adalah rencana treatmen. Proses pertama adalah konseli dan konselor mendaftar soal yang mau diadress. Soal itu sudah ada di dalam rumusan pada sesi sebelumnya. Pada umumnya setiap rumusan soal itu terdiri dari tiga bagian soal konseli yang mau diaddress. Soal yang dimaksud biasa terdiri dari tiga bagian yaitu yang paling mudah untuk diadress adalah perilaku yang dapat dilihat, diukur. Selain itu soal emosi atau perasaan dan yang ketiga adalah soal pikiran. Soal pikiran, tindakan, dan emosi selalu bergandengan saling mempengaruhi satu sama yang lain. Hal ini pun semestinya konselor sampaikan kepada konseli untuk mendapat klarifikasi dari konseli. Setelah konseli mengerti maka atas persetujuan konseli, proses konseling dapat maju ke tahap sesi berikut.
Setelah daftar soal ditentukan bersama, konseli dan konselor bersama-sama menentukan tujuan dari setiap soal psikologis seperti terdapat pada daftar soal. Misalnya tujuan masalah A takut ular, maka tujuannya berani bertemu ular. Demikian juga tujuan soal yang lain sesuai daftar soal. Tujuan semestinya SMART: Simple/sederhama/Spesifik/particular, Measurable/terukur, Attainable/dapat dicapai, Realistik/konkret, Timely Statement/Dalam jangka waktu yang ditentukan. Tujuan in disampaikan kepada klien, agar klien paham dan setuju. Setelah setuju maka konseling berlanjut ke tahap berikut.
Setelah tujuan dari setiap daftar soal ditentukan bersama konseli, konselor mengelaborasi literature intervensi yang efektif dalam mencapai tujuan dari setiap daftar soal yang ada. Intervensi yang efektif ini disampaikan kepada konseli agar konseli mengerti. Interveni efektif juga bisa dilatih. Konselor memberikan latihan atau praktek interfensi efektif ini entah itu latihan langsung maupun dari video-video yang ada di youtube dalam mengadress soal yang sedang dialami konseli. Setelah konseli mengerti dan setuju maka efektif intervensi itu diemplementasikan atau dilaksanakan oleh konseli.
Implementasi intervensi efektif untuk sembuh dari sakit psikologis yang terdiri dari tindakan, perasaan, dan pikiran itu, konselor dapat memonitor perkembangan atau kemundurannya. Untuk itu konselor akan memberikan form-form yang perlu diisi konseli untuk membantu konseli memonitor mandiri perkembangan soalya, Form-form itu juga bisa diberikan kepada orang-orang terdekat yang membantu menyembuhkan konseli, yaitu orang tua, keluarga, teman sekolah, guru, dll. Kemudian ada evaluasi dan jika perlu revisi setelah evaluasi, maka perlu mendapat persetujuan konseli. Revisi berarti mulai assessment ulang dan tahap seterusnya seperti sudah diulas sebelumnya. Setelah revisi atas persetujuan konseli, dan kemudian konseli merasa sembuh, maka atas persetujuan dan kemauan konseli, terminasi konseling dapta dilaksanakan. Sebaliknya konseli tidak berhasil sembuh, konseli dapat melakukan terminasi dan konselor mendampinginya dalam mencari proses penyembuhan kepada yang lebih professional atas soal konseli.
Nah kalau, Ia mulai tidak Sadar lagi dalam Injil hari ini, adalah persoalan orang yang menilai bukan persoalan orang yang dinilai. Maka soalnya perlu diadress dalam group proses terhadap kelompok orang yang menilai Yesus adalah orang yang tidak sadar lagi, dalam bahasa konseling orang yang mengalami gangguan psikologis. Mereka yang menilai orang lain dalam hal ini menilai Yesus sebagai orang yang tidak sadar lagi tanpa data holistik. Mereka menilai Yesus sebagai orang yang tidak sadder lagi hanya berdasarkan observasi sesaat saja secara spontan, tidak mandalam melewati proses sesi konseling sampai terminasi. Mereka dapat dididik dalam grup proses tentang menilai orang sampai orang itu sendiri menerima penilain atas dirinya adalah tepat sebagai orang yang sadar tau tidak sadar. Itu hanya terjadi di dalam ruang konseling baik konseling pribadi maupun konseling kelompok/keluarga atau komunitas. Yesus Sungguh Sadar Apa dipikirkan, dirasakan dan dilakukan di depan publik. Tetapi orang-orang yang menilai-Nya sebagai orang yang tidak sadar tulah yang sebetulnya tidak sadar. Mari kita menilai orang lain berdasarkan data sehingga penilaian kita sebagai input yang membangun orang yang dinilai dan kita yang menilai. Apakah penilaianku pada sesama berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? ***