MEMANFAATKAN KEKUATAN POSITIF DALAM DIRI KITA UNTUK MENYEMBUHKAN & DISEMBUHKAN
Renungan Misa Harian
Rabu 20 Januari 2021
Ibr.7:1-3.15-17
Mrk.3:1-6
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Introduksi
Setiap saat kita memiliki kebebasan untuk memilih antara yang baik atau yang jahat dan yang menghidupkan atau yang mematikan. Pilihan kita itu baik dalam kata yang kita ucapkan sebagai kata yang mematikan atau menghidupkan dan kata yang lahir dari pikiran dan kemauan jahat atau kata yang lahir dari pikiran dan kemauan baik bagi diri, sesama dan alam sekitar. Kata yang kita ucapakan itu dapat pula memandu kita berperilaku berdasarkan apa yang kita katakan.
Dua kekuatan yang ada di dalam diri kita itu disebut oleh Psikolog Freud dalam dua kata yaitu eros yang membawa kehidupan sedangkan Thanatos yang mematikan. Bagi Freud, kejahatan dan kebaikan yang sering dipersonifikasikan sebagai dewa kehidupan dan dewa kematian itu ada di dalam pribadi manusia. Simbol budaya dan agama tentang kebaikan dan kejahatan, bagi Freud lahir dari eros dan Thanatos yang ada di dalam diri setiap pribadi manusia.
Setiap manusia yang normal tidak pernah melihat secara fisik yang jahat dan yang baik. Kita dapat mengukur dan melihat yang jahat dan yang baik secara real di dalam diri orang yang yang berbuat baik dan atau orang yang berbuat jahat. Bagi Freud simbol agama dan budaya tentang kejahatan dan kebaikan, entah simbol itu dalam bentuk materi/patung dewa kejahatan/dewa kebaikan, kata/doa/Bahasa jahat atau baik, dan secara real dapat dilihat dan diukur dalam tindakan kejahatan atau kebaikan itu merupakan ekspresi kekuatan positif dan negative yang ada di dalam diri manusia, bukan berasal dari luar diri manusia.
Selain simbol kejatan dan kebaikan dalam bentuk material dan kata atau doa, simbol itu juga tampil dalam bentuk non-verbal atau Bahasa tubuh yang mencakup tindakan kejahatan atau kebaikan. Contoh, gerakan tubuh yang mewakili kejahatan atau kebaikan itu misalnya terdapat pada gerakan tubuh mengutuk orang atau gerakan tubuh yang memberkati orang yang selalu disertai kata/doa/mantra dan materi tertentu (misalnya air berkat, Darah bintang, dll) yang digunakan untuk mengutuk atau memberkati orang.
Dalam pendangan Freud, seorang yang beragama berdiri di mimbar rumah ibadat agama lalu berkotbah menjelekan atau bahkan berdoa mengutuk orang lain, itu merupakan sebuah contoh real bahwa hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalain dari luar diri, tetapi akarnya berasal dari dalam dirinya sendiri. Hal itu merupakan sebuah ekspresi nyata dari sisi Thanatos yang ada di dalam struktur kepribadiannya. Mahkluk yang mematikan yang sedang tidur nyenyak di dalam rumah dirinya yaitu thanatos telah dibangkitkan dan mencari mangsanya. Sebaliknya seorang Mother Theresia yang melayani semua orang kecil dengan penuh cinta kasih adalah aktualisasi dari eros yang ada di dalam dirinya. Mother Theresia menyadari penuh mengaktifkan signal eros di dalam dirinya. Dalam pandangan Freud, Mother Thresia dari Kalkuta mengaktifkan signal cinta kasih yang menghidupkan sesama yang dilayani, tetapi pada saat yang sama juga secara sadar Ibu Theresia menghentikan aktivitas Thanatos yang sedang ada di dalam dirinya atau dengan kata lain makhluk Thanatos sedang ditidur-nyenyak-an di dalam dirinya. Dalam pandangan Freud, Ibu Theresia adalah pribadi yang tegas mengaktifkan erosnya yang dikehendaki oleh semua manusia sedangkan kekuatan Thanatos yang membawa efek negatif bagi banyak orang dihentikan atau ditidurkan sementara hingga akhir hidupnya.
Material, doa/kata/Bahasa dan gerakan tubuh atau Bahasa non-verbal dari Ibu Theresia senantiasa menyembuhkan semua yang dijumpai karena kemampuannya dan kehebatannya menidurkan materi, kata/doa/Bahasa serta bahasa non-verbal yang menyakiti sesama yang dijumpai dan dilayaninya. Dua sisi yaitu kekuatan positif dan kekuatan negative dalam diri itu juga ditemukan di dalam bacan Injil hari ini.
Loci Theologicus
Teks Kitab Suci hari ini menampilkan dua kelompok yang bagi saya dan bagi Freud menampilkan Thanatos dan eros bagi kita para pembaca. Orang-orang Farisi yang senantiasa menggunakan aturan menghalangi orang lain berbuat baik merupakan roh Thanatos yang bertumbuh dan berkembang di dalam diri mereka. Sedangkan Yesus dan para pengikut-Nya meskipun terus dihalang-halangi, terus melakukan kebaikan kepada sesama. Hal ini merupakan bukti bahwa Yesus dan para pengikut-Nya mengaktifkan eros secara penuh dalam karya pelayanan mereka.
Sementara orang-orang Farisi menggunakan aturan hari Sabat untuk mencari-mencari kesalahan Yesus. Tepat pada waktu Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, itulah momentum bagi orang Farisi menjatuhkan Yesus dengan larangan aturan sabat. Orang-orang Farisi melihat aturan Sabat secara kaku bahwa pada hari Sabat orang tinggal di Rumah atau libur atau tidak melakukan pekerjaan termasuk penyembuhan orang sakit yang sangat membutuhkan sang penyembuh. Maka ketika Yesus menantang orang-orang Farisi dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka: “Manakah yang diperbolehkan pada hari sabat, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” Orang-orang Farisi mendengar pertanyaan ini tetapi tidak memberi jawaban. Mereka diam saja.
Diam ini punya banyak arti. Bisa jadi mereka jengkel pada Yesus yang memberi pertanyaan yang sangat menyentuh dalamnya nurani mereka, membongkar dan memaksa mereka untuk secara jujur menjawabNya. Tetapi mereka diam, didiamkan oleh thanatosnya walau erosnya terus mengiris nuraninya untuk segera menjawabNya secara jujur. Orang-orang Farisi mencari kesalahan Yesus berdasarkan aturan Sabat untuk kepentingan diri sendiri, tetapi sayang pertanyaan Yesus kepada mereka memandu mereka secara diam tapi terpaksa menunda menemukan kesalahan Yesus untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Locus Theologicus
Kita merenungkan tokoh Yesus dan pengikut-Nya dan Orang-orang Farisi dari bacaan Injil hari ini dalam konteks kita tempat dan waktu kita tinggal. Kita dapat menempatkan diri dalam situasi dan kondisi kita hidup dalam teks Kitab Suci hari ini yang memberikan kita dua kelompok tokoh dalam perspektif psikologis, secara khusus dalam pandangan Freud tentang kekuatan positif dan negatif yang ada di dalam setiap pribadi manusia. Dari pandangan personal itu kemudian diterapkan dalam kelompok manusia yang dibagi dalam dua kelompok berdasarkan kekuatan negatif dan positif yang ada di dalam pribadi-pribadi dalam kelompoknya masing-masing. Saya dibantu oleh teorinya Freud tentang eros dan Thanatos dalam diri setiap pribadi, kemudian pribadi-pribadi itu dikelompokan berdasarkan eros dan Thanatos juga. Pendapat saya bahwa teks Injil hari ini memberikan kelompk orang-orang Farisi sebagai kelompok yang cukup dicirikan oleh Thanatos karena mereka menghalang-halangi orang untuk melakukan penyembuhan kepada orang yang sakit. Sedangkan Yesus dan pengikut-Nya adalah kelompok yang lebih didominasi oleh ciri eros karena memberikan penyembuhan kepada orang sakit.
Aplikasi
Kita lihat kedua kelompok ini dalam merefleksikan pengalaman hidup iman kita. Kita dapat menggolongkan diri sebagai kelompok Yesus yang mengutamakan budaya kehidupan kepada diri sendiri, sesama dan alam lingkungan sekitar kita. Atau kita juga dalam refleksi kita menempatkan diri sebagai orang-orang Farisi yang menghalang-halangi orang lain yang setia melakukan budaya cinta kehidupan. Barangkali penghalang-penghalang kecil yang kita lakukan adalah penghalang-penghalang kecil terhadap sesama yang selalu setia pada cinta kehidupan, lewat kata-kata, atau material maupun lewat tindakan kita.
Barangkali kita sambil menghalangi orang lain berbuat baik bagi sesama, kita sendiri kehilangan inisiatif untuk melakukan yang baik bagi sesama, tetapi kita hanya berbuat baik untuk kepentingan diri kita sendiri. Dalam hal ini kita memberikan kesempatan kepada Thanatos di dalam diri kita bekerja dalam tindakan kita menghalang-halangi orang lain yang berbuat baik lewat kata, materi, dan bahasa non-verbal kita.
Kita disadarkan kembali oleh bacaan Injil hari ini bahwa Yesus adalah tokoh iman kita. Yesus mencintai hidup manusia khususnya orang sakit dengan menyembuhkannya. Yesus memberikan teladan bagi kita bahwa cinta akan hidup dan kehidupan adalah di atas segala aturan yang menghalangi dalam hal ini aturan hari Sabat. Yesus marah orang-orang Farisi yang menghalang-halangi Yesus dengan kata-kata verbal dan Bahasa non-verbal yang lahir dari kekuatan Thanatos yang ada di dalam diri mereka. Kemarahan ini adalah karena cinta kehidupan pada orang yang sedang sakit. Begitu teganya orang-orang Farisi tidak memiliki kepedulian pada orang yang sakit untuk disembuhkan Tuhan Yesus. Yesus marah mereka dengan maksud agar mereka sadar akan kekurangan mereka dalam melihat peraturan hari sabat dan kekurangan mereka dalam melihat orang sakit yang merindukan kesembuhan dari sang penyembuh. Yesus memenuhi harapan orang sakit yang kemudian disembuhkan oleh-Nya.
Kita dapat membayangkan, ketika salah seorang dari orang-orang Farisi yang sakit, saya yakin mereka memiliki kepedulian yang sangat mendalam akan anggotanya yang sakit yang sangat merindukan sebuah kesembuhan. Seringkali dalam keadaan sehat kita menghalangi orang lain berbuat baik bagi orang sakit misalnya. Tetapi ketika kita sendiri atau salah seorang dari keluarga atau anggota kelompok kita sakit, maka kita mulai sadar betapa pentingnya kita membutuhkan orang lain untuk membantu dan menyembuhkan kita. Maka tepat sekali kata-kata ini bahwa benar yang terluka yang menyembuhkan. Kalau dulu kita tidak mengalami masalah dan orang lain yang mengalami masalah, lantas kita bicarakan orang yang bermasalah. Baru kemudian mata kita terbuka, setelah kita sendiri mengalami masalah serupa yang telah lebih dahulu dialami orang lain yang kita bicarakan. Maka sekali lagi, kata Henri JM Nouwen: “ yang terluka yang menyembuhkan.”
Transformasi diri dan kelompok
Kita secara pribadi dan kelompok sadar bahwa kita memiliki kekuatan yang mematikan dan juga kekuatan yang menghidupkan. Kita sadar akan hal itu sebagai orang yang memiliki dua sisi psikologis itu menurut Freud.
Tetapi kita lebih lanjut sadar betul bahwa kita adalah orang beriman Katolik. Teologi Katolik kita berprinsip bahwa kekuatan positif untuk keselamatan universal diaktifkan dalam rasa-akal-aksi kita di mana saja kita berada dalam waktu hidup kita. Sebaliknya Teologi katolik menutup bahkan mengunci signal bagi aktifnya kekuatan negatif yang menghancurkan diri, sesama dan dunia.
Kekuatan negatif dalam diri dan kelompok itu tampak dalam rasa, budi dan aksi kita yang menyakiti bukan menyembuhkan. Kita ya pada kebaikan. Kita tidak pada kejahatan. Teologi Katolik terangkum di dalam Injil Mat 5:37 yang mengatakan, “Jika Ya katakan Ya dan Jika tidak katakan tidak.” Ya pada Yesus. Tidak pada kaum Farisi. Tidak ada abu-abu dalam Teologi Katolik.***